Dharma Usaha

Dharma Usaha

Berikut Tugas BPUPKI:

BPUPKI dibentuk dengan tujuan untuk melakukan penyelidikan dan persiapan dalam rangka mendapatkan pendapat dan usulan rakyat Indonesia terkait perumusan kemerdekaan. Badan ini bertugas untuk menggali aspirasi masyarakat Indonesia dan merumuskan dasar-dasar negara yang akan menjadi dasar kemerdekaan Indonesia.

Salah satu tugas utama BPUPKI adalah merumuskan dasar negara dan konstitusi bagi Indonesia yang merdeka. BPUPKI melakukan pembahasan dan perumusan berbagai aspek negara, seperti bentuk pemerintahan, hak asasi manusia, sistem ekonomi, dan hubungan dengan negara lain. Hasil dari perumusan ini kemudian menjadi dasar bagi Konstitusi Republik Indonesia.

BPUPKI mengadakan berbagai sidang dan forum diskusi di mana para anggota BPUPKI berdiskusi, berdebat, dan membahas berbagai isu yang terkait dengan kemerdekaan dan perumusan dasar negara. Diskusi ini melibatkan berbagai pemikir, tokoh nasional, dan perwakilan daerah untuk memastikan keterwakilan yang luas dalam merumuskan dasar negara.

Berdasarkan hasil sidang dan diskusi, BPUPKI bertugas untuk menyusun naskah konstitusi yang mencerminkan pandangan dan aspirasi rakyat Indonesia. Naskah konstitusi ini menjadi landasan untuk menyusun konstitusi final Indonesia.

BPUPKI bertugas untuk melakukan penyelidikan terhadap situasi politik dan sosial di Indonesia pada masa itu. Mereka menganalisis kondisi politik, ekonomi, sosial, dan keamanan yang meliputi aspek-aspek seperti pendudukan Jepang, pengaruh Belanda, perjuangan kemerdekaan, dan aspirasi rakyat Indonesia.

BPUPKI memiliki tugas untuk merumuskan tujuan dan cita-cita kemerdekaan Indonesia. Mereka membahas dan mendiskusikan visi, prinsip, dan nilai-nilai yang ingin dicapai dalam proses perjuangan kemerdekaan serta dalam membangun negara Indonesia yang baru.

BPUPKI juga melibatkan konsultasi dengan berbagai pihak terkait, termasuk tokoh nasional, pemimpin masyarakat, organisasi politik, dan agama. Konsultasi ini dilakukan untuk mendapatkan masukan, pendapat, dan aspirasi yang lebih luas dari berbagai lapisan masyarakat dalam merumuskan dasar negara.

Pada puncak gedung baru Universitas Widya Dharma Pontianak (Jl. H.O.S. Cokroaminoto) terpasang lambang T besar. Orang bertanya-tanya, mengapa ada lambang T pada tampilan depan Gedung St. Fransiskus dari Assisi itu. Lambang T tersebut adalah Tau. Apa maknanya?

Asal-usul simbol T ditemukan dalam Kitab Yehezkiel. Di situ dijelaskan bahwa tanda T hendaknya digambarkan pada dahi orang-orang yang harus dijaga keselamatannya (Yeh. 9:4, bdk. Why. 7:3; 9:4; 14:1). Simbol ini menjadi tanda untuk orang-orang yang harus diluputkan dari bahaya, ditebus, dan diselamatkan. Di sini jelas, tanda T berakar dalam tradisi Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Dengan dasar biblis tersebut, tradisi kekristenan memaknainya sebagai tanda diri bagi orang-orang yang telah ditebus dan diselamatkan. Bentuknya yang seperti salib tradisional tanpa kepala kadang-kadang membuat sebagian orang secara kurang tepat menyebutnya “salib Tau”.

St. Fransiskus dari Assisi sangat suka dengan simbol ini. Tanda Tau dijadikan sebagai tanda tangan dalam tulisannya. Ia menggambar dinding dan pintu gubuk kediamannya dan menandai dirinya sendiri dengan Tau. Ketika ia merentangkan kedua lengannya lurus ke samping kanan dan kiri, ia membentuk tanda Tau. Besar kemungkinan Fransiskus tertarik pada simbol ini ketika ia mendengar kotbah Paus Innocentius III dalam Konsili Lateran IV yang mengutip Kitab Yehezkiel untuk menjadikan Tau sebagai logo atau emblem peperangan rohani; perjuangan mereformasi Gereja dari dekadensi moral. Tau mendapat tempat khusus dalam spiritualitas St. Fransiskus yang dilanjutkan para pengikutnya, baik dari kalangan religius maupun awam.

Meskipun Tau mengakar jauh dalam tradisi kekristenan, yang memopulerkan pemakaiannya adalah St. Fransiskus dan para pengikutnya dalam ordo-ordo fransiskan. Di kemudian hari para fransiskan membuat tanda ini dari kayu, mengikatnya dengan tali, dan mengenakannya sebagai kalung. Ordo Fransiskan Sekular (awam) memakai simbol ini sebagai pengenal diri. Namun dewasa ini Tau tidak hanya dipakai religius dan awam fransiskan. Salah satu cinderamata yang dibeli para peziarah di kota Assisi adalah kalung Tau. Mereka memakainya sepanjang perjalanan ziarah. Sebagai tanda, Tau dapat dipakai siapa saja. Dalam konteks meneladani St. Fransiskus sebagai salah satu patron hidup dan karya, Tau dapat diartikan sebagai pengakuan diri untuk menghayati prinsip preferential option for and with the poor.  Prinsip itu seyogianya mewarnai setiap kata dan tindakan orang yang memakainya. Mereka harus lebih berpihak pada orang-orang yang berkekurangan, membutuhkan bantuan dan perhatian.

Universitas Widya Dharma Pontianak bernaung di bawah Ordo Kapusin Provinsi Pontianak yang disemangati oleh spiritualitas St. Fransiskus. Dalam rangka ikut mencerdaskan bangsa, Universitas Widya Dharma Pontianak bertekad menjadi rumah pendidikan yang terbuka bagi semua anak bangsa tanpa sekat ekonomis, sosial, budaya, maupun agama. Di sinilah anak-anak bangsa ditempa untuk mengembangkan kecerdasan emosional, moral, spiritual, dan intelektual agar mereka menjadi generasi penerus yang cinta tanah air, berkarakter, dan peduli pada sesama (khususnya) yang lemah, berkekurangan, dan menderita. Di sini, generasi muda menjadi Tau yang penuh makna, Tau yang hidup. -Lianto-

*Dirangkum dari berbagai sumber

He llevado el Curso Taller Virtual de MS Project 2013 en Dharma Consulting y estoy muy satisfecho con la modalidad, contenido y, sobre todo, la atención de los profesores y personal técnico y administrativo. También debo comentar que en los otros Cursos que he llevado en Dharma (como los de Gestión de Proyectos y Habilidades Blandas) he experimentado el mismo grado de satisfacción. Muy recomendable para actualizar los conocimientos, así como para ampliar o complementar los mismos

Kama adalah dewa. Dewa Kama tidak memiliki tubuh. Karena itu ia disebut Anangga. A berarti tidak. Angga berarti tubuh. Tanpa tubuh, maka ia tidak kelihatan. Dalam bahasa sekarang ia adalah energi. Energi Kama mengembara ke sana ke mari di alam bebas. Tujuannya mencari tubuh untuk dimasukinya. Pada waktunya, tubuh yang dicari ditemukannya. Kama masuk ke dalam tubuh melalui pandangan mata. Caranya masuk sangat rahasia sehingga tidak terdeteksi. Mula-mula ia hinggap di ujung pandangan [tungtunging panon]. Lalu bergerak melalui tengah pandangan menuju pangkal pandangan [bungkahing panon]. Selanjutnya ia menetap di anak-anakan mata. Wujudnya seperti bayangan anak kecil.

Nama lain dari Kama adalah Smara. Itulah sebabnya kedua mata dinamakan Smaralaya. Selama di Smaralaya status Kama masih sebagai Dewa. Ia diasuh oleh dewa atasannya, yaitu Indra. Dewa pengasuh itu tinggal di pertengahan mata kanan dan mata kiri. Itulah sebabnya pertengahan kedua mata disebut Indra Bhawana. Bagaimana cara dari Smaralaya menuju Indra Bhawana? Kedua ujung pandangan dipertemukan. Begitulah caranya. Bagaimana cara dari Indra Bhawana kembali ke Smaralaya? Kedua ujung pandangan dipisahkan.

Dari Smaralaya Kama turun ke Taman Bagenda. Maksudnya, dari mata turun ke hati. Hati adalah teritori Dewa Brahma. Di sana ada sebuah taman sangat indah. Namanya taman Bagenda. Di tengah taman itu Kama menikmati keindahan rasa cinta. Karena bercampur dengan rasa cinta, maka kualitas dewanya merosot menjadi kualitas manusia. Para sastrawan melukiskan keindahan cinta dengan berbagai ekspresi. Salah satu ekspresi yang tidak umum, rasa cinta disamakan dengan rasa “sakit yang indah”.

Kama turun lagi dari hati ke bawah pusar. Di bawah pusar kualitasnya turun lagi menjadi bhuta. Wujudnya semakin nyata. Warnanya semakin jelas. Hawanya panas. Ketika di bawah pusar laki-laki, ia berwarna putih. Karena itu ia dinamakan Kama Petak. Petak artinya putih. Sedangkan ketika di bawah pusar perempuan ia berwarna merah. Karena itu ia disebut Kama Bang. Bang artinya merah.

Karena asal mulanya adalah satu, maka keduanya saling merindukan pertemuan. Karena melalui pertemuan itulah mereka berdua akan kembali menjadi satu. Menurut para sastrawan, kerinduan Kama itu sangat dahsyat. Dahsyatnya kerinduan itu dilukiskan dengan berbagai cara. Menurut Mpu Dharmaja, pengarang Smaradhahana, Dewa Shiwa sendiri tidak sanggup menahan dahsyatnya kerinduan itu.

Pertemuan Kama Petak dan Kama Bang adalah dasar penciptaan manusia. Ada banyak versi cerita tentang pertemuan keduanya. Salah satu versi menyebutkan seperti berikut ini. Kama Petak merindukan pertemuan dengan Kama Bang. Kerinduan itu menyebabkan Kama Petak ke luar dari tempat pertapaannya. Tujuannya meninggalkan tempat pertapaan adalah mencari jalan agar bisa mendekat ke Kama Bang. Tujuannya mendekat ke Kama Bang tidak lain untuk bercampur dengannya. Tujuannya bercampur adalah untuk melebur kerinduannya dan sekaligus melebur dirinya sendiri. Versi cerita ini menggarisbawahi bahwa Kama Petak adalah pelaku sesungguhnya.

Versi lain begini. Kama Petak tidak menyadari dirinya ditarik oleh kekuatan maya yang ada di dalam diri Kama Bang. Jadi, pelaku sesungguhnya adalah Kama Bang. Ia menebar jaring maya ke segala penjuru mata angin. Jaring itu halus, tidak kelihatan, dan rahasia. Dalam tradisi jaring itu disebut jaring sutra. Tujuan jaring itu ditebarkan tiada lain untuk menjerat Kama Petak. Jeratan itu ternyata berhasil. Lilitan jaring maya itu menyebabkan Kama Petak mengalami sakit yang tidak ada obatnya, kecuali bercampur dengan si penebar jaring. Sepintas lalu kelihatan Kama Petak yang merindukan Kama Bang. Sesungguhnya ia yang dirindukan. Kelihatannya Kama Petak yang mencari Kama Bang. Sebenarnya ia yang dinantikan. Semua itu aktor intelektualnya adalah Kama Bang. Semua itu dilakukannya, karena didorong naluri alamiah mengembangbiakkan diri. Demi pemenuhan naluri purba itu, ia harus dimasuki oleh Kama Petak. Agar Kama Petak datang memasukinya, maka ia menebar jaring sutra. Versi ini memberitahu kita bahwa pelaku sesungguhnya adalah Kama Bang.Yang mana versi benar menurut tattwanya? Tidak mudah memutuskan benar salahnya. Karena tattwa yang ada juga berlapis-lapis. Konflik Kama Petak dengan Kama Bang menurut tattwanya adalah konflik penciptaan. Menurut teori penciptaan Samkhya, maya selalu berusaha memasuki purusha. Maya diartikan ketidaksadaran. Purusha diartikan kesadaran. Dengan lain perkataan, ketidaksadaran itulah yang selalu berusaha memasuki kesadaran. Semakin jauh ketidaksadaran itu memasuki purusha, maka semakin menurun kualitas kesadaran itu. Jadi menurut pandangan Samkhya, ketidaksadaran atau maya adalah pelaku sesungguhnya. Maya ada di dalam Kama Petak dan Kama Bang. Seperti disebutkan sebelumnya, pada mulanya Kama adalah dewa. Dari dewa ia berubah menjadi manusia. Pada akhirnya Kama adalah bhuta. Status bhuta yang disandang keduanya menunjukkan mereka adalah maya. Jadi, pelaku sesungguhnya adalah maya.

Tidak perlu diperpanjang siapa pelaku siapa korban, atau siapa aktif dan siapa pasif. Lebih baik kita bicarakan apa yang terjadi setelah keduanya bertemu, dan apa pula hasil dari pertemuan itu. Singkat cerita, terjadilah pertemuan antara yang merindukan dengan yang dirindukan. Terjadilah pergulatan antara yang memasuki dengan yang dimasuki. Pergumulan berlangsung sedemikian indahnya. Ada sastrawan melukiskannya seperti ombak menabrak-nabrakkan dirinya pada batu karang. Ombak pecah, batu karang bolong. Keduanya lebur dalam upacara yang entah apa namanya. Bunyi ombak adalah mantranya. Uap yang membubung adalah asap du- panya. Jeritan burung camar adalah kidungnya.

Sastrawan yang lain menggambarkan Kama Bang seperti bunga yang mekar oleh musim. Bunga itu membuka kelopaknya satu persatu sehingga siap dimasuki celah-celahnya. Terbuka untuk disentuh sisi-sisinya. Leluasa untuk diendus bau-baunya. Menganga untuk diisap serbuk-serbuknya. Sedangkan Kama Petak seperti air hujan yang turun deras dari langit menyusup ke dalam tanah. Begitulah Kama Petak masuk ke dalam diri Kama Bang. Berlomba-lomba Kama Bang dan Kama Petak melepaskan warna masing-masing. Yang berwarna putih memberikan warnanya pada yang merah. Yang berwarna merah mencampurkan warnanya dengan yang putih. Percampuran kedua warna pun terjadi entah dipandu oleh apa atau siapa. Maka terciptalah warna yang baru. Dadu.

Dadu adalah warna dari persatuan Kama Petak dengan Kama Bang. Karena berwarna dadu, maka hasil persatuan keduanya dinamakan Kama Dadu. Istilah lainnya adalah Smara Dadu. Statusnya tetap bhuta. Wujudnya adalah gumpalan darah yang mengental. Tempat tinggalnya di rumah Kama Bang. Kama Dadu itulah yang kemudian berevolusi menjadi tubuh manusia. Ada kepala, ada dada, ada kaki, lengkap dengan lubang-lubang dan bulu-bulunya. Itulah asal diri kita. Pada mulanya warna kita adalah dadu. Namun demikian, warna dadu tidaklah sesederhana itu. Cerita di atas baru sekelumit kecil dari kedaduan kita.

Apakah warna dadu hanya berhubungan dengan Kama? Jawabannya ternyata tidak! Ada dadu yang berhubungan dengan dewa. Penjelasannya terdapat di dalam konsep Padma Mandala. Yang dimaksud Padma Mandala, bahwa jagat ini dibayangkan seperti bunga teratai mekar. Kelopak teratai yang mekar itu menunjuk ke seluruh penjuru mata angin. Konsep Padma Mandala diterapkan baik di bhuwana agung maupun di bhuwana alit.

Seperti berikut ini kalau di bhuwana agung. Timur tempat matahari terbit dihubungkan dengan warna putih. Dewanya adalah Ishwara. Selatan sebagai kirinya bhuwana agung dihubungkan dengan warna merah. Dewanya adalah Brahma. Kalau Ishwara berjalan dari timur menuju selatan, dan pada waktu bersamaan Brahma juga berjalan dari selatan menuju timur, maka kedua dewa itu akan berpapasan di satu titik yang bernama tenggara. Karena Ishwara membawa serta warna putihnya, dan Brahma membawa warna merahnya, maka terjadilah percampuran warna di tenggara. Putih bercampur dengan merah menjadi dadu. Jadi, warna tenggara adalah dadu.

Kalau di bhuwana alit, seperti berikut ini keterangannya. Putih adalah warna yang dihubungkan dengan jantung. Dalam pandangan mistis, jantung menempati posisi timur. Dewanya adalah Ishwara. Merah adalah warna yang dihubungkan dengan hati. Dalam pandangan mistis, hati menempati posisi selatan. Dewanya adalah Brahma. Kalau Ishwara yang berwarna putih bergerak dari jantung menuju hati, dan bersamaan dengan itu Brahma yang berwarna merah bergerak dari hati menuju jantung, maka kedua dewa itu akan berpapasan di paru-paru. Maka akan terjadi percampuran warna putih dengan warna merah di paru-paru. Warna hasil percampuran itulah kemudian menjadi warna paru-paru. Warna paru-paru dengan demikian adalah dadu. Bisa pula dikatakan warna paru-paru adalah putih kemerah-merahan, atau merah keputih-putihan. Dalam pandangan mistis, paru-paru ada di tenggara. Di sana ada dewa berwarna dadu. Dewa itu bergelar Maheshora.

Seperti itulah penjelasan sederhananya. Ada penjelasan yang tidak sederhana. Seperti berikut ini. Kalau jantung disebut padma petak atau tunjung putih, dan hati dinamakan padma bang atau tunjung merah, maka menurut sumbernya paru-paru bukannya disebut padma dadu, melainkan dinamakan puspa tan alum. Puspa berarti bunga. Tan berarti tidak. Alum berarti mekar. Jadi, dengan demikian, paru-paru adalah sekuntum bunga yang tidak mekar. Kalau jantung adalah padma putih yang mekar, dan hati adalah padma merah yang mekar, maka paru-paru adalah bunga yang tidak mekar.

Mengapa paru-paru dikatakan bunga tidak mekar? Apa hubungan Kama Dadu yang ada di bawah pusar dengan Dewa Dadu yang ada di paru-paru? Jawaban dari dua pertanyaan itulah yang tidak sederhana. Tidak sederhana untuk dipahami. Tidak sederhana untuk dituliskan. Barangkali lain kali.

Oleh: IBM Dharma PalgunaSource: Media Hindu, Edisi 170, April 2018

Raden Adjeng Kartini berasal dari kalangan priyayi atau kelas bangsawan Jawa.[2] Ia merupakan putri dari Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, seorang patih yang diangkat menjadi bupati Jepara segera setelah Kartini lahir.[2] Kartini adalah putri dari istri pertama, tetapi bukan istri utama.[2] Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara.[2] Dari sisi ayahnya, silsilah Kartini dapat dilacak hingga Hamengkubuwana VI. Garis keturunan Bupati Sosroningrat bahkan dapat ditilik kembali ke istana Kerajaan Majapahit.[2] Semenjak Pangeran Dangirin menjadi bupati Surabaya pada abad ke-18, nenek moyang Sosroningrat mengisi banyak posisi penting di Pangreh Praja.[2]

Ayah Kartini pada mulanya adalah seorang wedana di Mayong. Peraturan kolonial waktu itu mengharuskan seorang bupati beristerikan seorang bangsawan. Karena M.A. Ngasirah bukanlah bangsawan tinggi[3], maka ayahnya menikah lagi dengan Raden Adjeng Woerjan (Moerjam), keturunan langsung Raja Madura.[2] Setelah perkawinan itu, maka ayah Kartini diangkat menjadi bupati di Jepara menggantikan kedudukan ayah kandung R.A. Woerjan, R.A.A. Tjitrowikromo.

Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Dari kesemua saudara sekandung, Kartini adalah anak perempuan tertua. Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV, diangkat bupati dalam usia 25 tahun dan dikenal pada pertengahan abad ke-19 sebagai salah satu bupati pertama yang memberi pendidikan Barat kepada anak-anaknya.[2] Kakak Kartini, Sosrokartono, adalah seorang yang pintar dalam bidang bahasa. Sampai usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS(Europese Lagere School). Di sini antara lain Kartini belajar bahasa Belanda. Tetapi setelah usia 12 tahun, ia harus tinggal di rumah karena sudah bisa dipingit.

Karena Kartini bisa berbahasa Belanda, maka di rumah ia mulai belajar sendiri dan menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda. Salah satunya adalah Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya. Dari buku-buku, koran, dan majalah Eropa, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa. Timbul keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi, karena ia melihat bahwa perempuan pribumi berada pada status sosial yang rendah.

Kartini banyak membaca surat kabar Semarang De Locomotief yang diasuh Pieter Brooshooft, ia juga menerima leestrommel(paket majalah yang diedarkan toko buku kepada langganan). Di antaranya terdapat majalah kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang cukup berat, juga ada majalah wanita Belanda De Hollandsche Lelie. Kartini pun kemudian beberapa kali mengirimkan tulisannya dan dimuat di De Hollandsche Lelie. Dari surat-suratnya tampak Kartini membaca apa saja dengan penuh perhatian, sambil membuat catatan-catatan. Kadang-kadang Kartini menyebut salah satu karangan atau mengutip beberapa kalimat. Perhatiannya tidak hanya semata-mata soal emansipasi wanita, tapi juga masalah sosial umum. Kartini melihat perjuangan wanita agar memperoleh kebebasan, otonomi dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas. Di antara buku yang dibaca Kartini sebelum berumur 20, terdapat judul Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta karya Multatuli, yang pada November 1901sudah dibacanya dua kali. Lalu De Stille Kraacht (Kekuatan Gaib) karya Louis Coperus. Kemudian karya Van Eeden yang bermutu tinggi, karya Augusta de Witt yang sedang-sedang saja, roman-feminis karya Nyonya Goekoop de-Jong Van Beek dan sebuah roman anti-perang karangan Berta Von Suttner, Die Waffen Nieder (Letakkan Senjata). Semuanya berbahasa Belanda.

Oleh orangtuanya, Kartini disuruh menikah dengan bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, yang sudah pernah memiliki tiga istri. Kartini menikah pada tanggal 12 November 1903. Suaminya mengerti keinginan Kartini dan Kartini diberi kebebasan dan didukung mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang, atau di sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai Gedung Pramuka.

Anak pertama dan sekaligus terakhirnya, Soesalit Djojoadhiningrat, lahir pada tanggal13 September 1904. Beberapa hari kemudian, 17 September 1904, Kartini meninggal pada usia 25 tahun. Kartini dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.

Berkat kegigihannya Kartini, kemudian didirikan Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini di Semarang pada 1912, dan kemudian di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. Nama sekolah tersebut adalah "Sekolah Kartini". Yayasan Kartini ini didirikan oleh keluarga Van Deventer, seorang tokoh Politik Etis.

Berdasarkan surat yang ditujukan kepada STIKes Dharma Husada Bandung, PT ETOS BAKTINUSA, yang bergerak dibidang jasa pengendalian hama pemukiman, menawarkan lowongan pekerjaan bagi alumni STIKes Dharma Husada Program Studi S1 Kesehatan Masyarakat (Jurusan Kesehatan Lingkungan), untuk posisi Manager Operasional, dengan kualifikasi sebagai berikut : Pria / Wanita, usia 21 –...

Yuk, beri rating untuk berterima kasih pada penjawab soal!

BPUPKI adalah singkatan dari Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia. BPUPKI adalah badan hukum yang dibentuk pada masa pendudukan Jepang di Indonesia pada tahun 1945. Badan ini bertugas untuk melakukan penyelidikan dan persiapan dalam rangka mendapatkan pendapat dan usulan rakyat Indonesia terkait perumusan kemerdekaan.

BPUPKI terdiri dari berbagai anggota yang mewakili berbagai latar belakang dan kelompok masyarakat, termasuk pemimpin nasional, tokoh agama, cendekiawan, dan perwakilan daerah. Salah satu tugas utama BPUPKI adalah merumuskan dasar negara dan konstitusi bagi Indonesia yang merdeka.

BPUPKI memainkan peran penting dalam perumusan dasar negara Indonesia dan menyediakan landasan untuk pembentukan negara merdeka. Konstitusi Republik Indonesia yang dihasilkan dari proses tersebut, termasuk Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, masih menjadi dasar hukum negara Indonesia hingga saat ini. Nah apakah kalian tau apa saja tugas BPUPKI? Yuk simak infonya di sini.